Monday, November 19, 2007

PERJANJIAN PRA NIKAH DALAM BUDAYA KETIMURAN


Menikah merupakan salah satu bentuk perikatan. Secara umum hubungan antara pihak-pihak yang melakukan perikatan ini termasuk hubungan keperdataan. Oleh sebab itu, apabila terdapat ingkar atas isi kesepakatan di dalam akta nikah, maka dapat batal demi hukum atau dibatalkan. Namun ternyata dalam perkembangan, akta nikah tidak cukup mengakomodasi komitmen masing-masing pihak. Perselingkuhan tetap banyak terjadi, perkawinan kedua-dan selanjutnya tanpa pengetahuan isteri atau memaksakan keinginan si isteri, tindak kekerasan dalam rumah tangga dan masih banyak kejadian yang menyimpang dalam perikatan pernikahan. Hal-hal mana yang menunjukkan bahwa akta pernikahan tidak bisa lagi menjadi satu-satunya dasar hukum yang mengikat dan menjamin pihak-pihak yang mengikatkan diri ini memenuhi tanggung jawabnya masing-masing. Meskipun negara juga memfasilitasi aturan hukum untuk mengatur hubungan suami isteri (lihat UU No. 1 tahun 1974).


Pernikahan mengandung 2 unsur sekaligus: keperdataan dan publik. Secara perdata, hak dan kewajiban untuk saling memenuhi kebutuhan ekonomi (nafkah) dan melakukan perbuatan hukum. Secara publik, menyangkut mekanisme perbuatan hukum ke dua belah pihak dan yang sedang ramai dibicarakan saat ini adalah tindak kekerasan fisik dalam rumah tangga. Selebihnya dasar hukum untuk lembaga pernikahan lebih pada pengesahan dari negara atas pasangan. Setidaknya inilah yang secara umum berlaku di Indonesia dan masyarakat sudah cukup merasa puas dengan fasilitas hukum ini. Apabila terjadi ingkar dalam rumah tangga, pengadilan memfasilitasi untuk proses perceraian. Apabila terjadi tindak kekerasan dalam rumah tangga atau pelanggaran mekanisme proses pernikahan, maka pengadilan memfasilitasi sanksi pidana. Belum lagi hukum adat dan agama yang ikut serta memagari lembaga pernikahan tersebut. Sehingga tidak perlu lagi untuk melindungi institusi pernikahan tersebut dengan perjanjian pra nikah.


Perjanjian pra nikah menjadi kurang populer dan diminati di dalam budaya ketimuran, setidaknya di Indonesia. Ini disebabkan kebanyakan yang diketahui oleh masyarakat isi perjanjian pra nikah lebih pada pengaturan materi atau harta gono gini, bukan lagi pada substansi hak dan kewajiban suami isteri. Manfaatnya perjanjian pra nikah seringkali menyelamatkan masing-masih pihak yang mengikatkan diri ketika pernikahan tidak berhasil, dengan pengertian aset masing-masing, sehingga menghindari sengketa aset kekayaan pada saat proses perceraian. Padahal, bukan itu saja yang bisa menjadi substansi perikatan dalam perjanjian pra nikah. Namun sebelumnya, lebih jauh lagi, sebenarnya tidak hanya itu saja manfaat dari perjanjian pra nikah. Perjanjian pra nikah dapat berfungsi juga sebagai rencana awal atau pondasi dari tindakan-tindakan dalam rumah tangga. Secara psikologis, perjanjian ini menjadi penindai dalam setiap keputusan yang diambil ke depan. Secara hukum, ini menjadi suatu dasar bagi pihak masing-masing, untuk menjadi pagar dalam penyelesaian sengketa. Manfaatnya, proses perceraian menjadi efisien, tidak berlarut-larut dan mejamin kepastian hukum.


Negara mengakui adanya perjanjian pra nikah dan tidak membatasi substansi dari perjanjian pra nikah tersebut. Seperti dalam UU No. 1 tahun 1974 pasal 29 bahwa "Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ke tiga sepanjang pihak ke tiga tersangkut" dan tentu saja sepanjang perjanjian tersebut tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
Di jaman modern ini, ternyata masyarakat Indonesia ada pendapat pro dan kontra seputar perjanjian pra nikah. Tapi saya sendiri masih kurang memahami, sampai sejauh apa generasi kita saat ini memandang perjanjian pra nikah dan menyadari manfaatnya. Di era pernikahan yang mengglobal, yang memungkinkan untuk menikah berbeda kewarganegaran dan agama, proses perceraian kebanyakan menjadi sangat berlarut-larut, terkesan berusaha menjatuhkan masing-masing pihak dan menyakitkan. Apalagi jika sudah menyangkut hak asuh anak dan harta gono-gini. Oleh sebab itu, perjanjian pra nikah bisa menjadi alternatif utama saat ini. Terutama dalam substansi di bawah ini yang seringkali menjadi duri dalam rumah tangga yang berekor pada kekerasan rumah tangga:
Kemampuan untuk mempunyai keturunan ;Tanggung jawab untuk menafkahi rumah tangga; Hak untuk mencari nafkah bagi seorang isteri; Mengambil isteri lagi atas nama alasan apapun; Aset atau harta gono-gini.


Bagaimana menurut anda?